Sabtu, 18 Januari 2014

Cerpen dari Kisah Nyata "Yusida"



YUSIDA*
(Sebuah Kisah Nyata dari penulis Saat  SD dan SMP)
       Waktu itu engkau duduk disebelah ku, engkau bercanda dan bergurau . Aku mengharapkan kalau aku adalah pengantin putra dan engkau adalah pengantin putri, namun engkau hanya bercanda dan tak pernah berkata serius. Tentunya hal ini membuatku ingin segera pulang dari sekolahan ini.
       Setelah aku pulang kerumah , ku temukan hal yang aneh, tiba-tiba saja aku merindukan engkau. Begitu juga dengan engkau yang sama seperti ku, engkau malah menghubungiku lebih dahulu sebelum aku menghubungimu, engkau berbicara panjang lebar . Hal yang ku ingat waktu itu adalah engkau berkata”I miss you”. Selanjutnya engkau menutup telepon . Suara menghilang, aku mulai rindu kepada mu kembali.
      Pagi harinya aku berangkat lagi ke sekolah . Engkau ternyata sudah menungguku di bangku ku paling depan. Engkau melambai-lambaikan tangan mengundangku.
      Engkau mengajakku bercanda seperti biasanya namun wajahmu berubah merona. Engkau terlihat lebih serius , dan sekarang aku telah menemukan sikap serius waktu itu juga.
Engkau mengungkapkan semua rahasia pribadimu……
      Pertama engkau mengatakan kalau kakakmu terkena guna-guna dari mantan pacarnya lalu engkau meminta ku sebuah air do’a . Engkau tahu kalau ayahku adalah seorang ulama hingga aku bejanji akan memberimu air do’a yang pastinya sangat manjur.
      Kedua engkau mengatakan kalau ayahmu bercerai dengan ibumu , dan sekarang engkau tinggal bersama ibumu, engkau pun menangis saat itu juga.
      Kemudian engkau bercerita ke masalah inti . Kata engkau , model adalah  sebuah pekerjaan   buntu. Aku memang tahu kalau engkau adalah seorang model belia namun aku tak tahu  juga kalau ternyata engkau memilih model karena paksaan ibumu yang tak mampu membiayai kehidupan nya kecuali darimu, dan engkau berkata juga kalau engkau adalah tulang punggung keluarga. Maka dari itu engkau mengatakan kalau hidup sebagai seorang model sangat menyiksa diri , engkau pun tak punya teman bermain dirumah gara-gara jadwal pemotretan yang sangat padat dan pastinya prestasi di sekolah mu menurun . Kata engkau  , engkau pernah  tidak naik kelas gara-gara engkau adalah seorang model. Padahal jika aku pergi kerumahmu maka yang kulihat adalah piala yang menghiasi seluruh badan almari didepan ruang tamu, engkau mengatakan pula kalau piala itu hanya benda mati dan hal itu bukanlah hal yang luar biasa namun hanya sebuah pajangan yang katamu tak ada artinya, yang engkau inginkan adalah amalan do’a supaya nilaimu di sekolah membaik dan bisa naik ke kelas enam. Aku hanya memberimu sebuah amalan yang ringkas , jika orang membacanya maka akan mendapatkan nilai yang sangat memuaskan, seperti aku yang waktu kelas empat membacanya dan aku pun mendapatkan nilai yang sangat sempurna karena amalan do’a tersebut. Dan engkau memintaku memberitahu kan amalan  do’a tersebut sebelum orang lain tahu. Padahal amalan do’a itu hanya berbunyi ”Allahumma sholi ala sayyidina Muhammad” amalan do’a itu dibaca ketika hendak mengerjakan soal ujian. Dan kebetulan besok adalah hal yang paling tepat untuk membuktikan nya.
      Engkau pun memegang tangan ku dan hanya mengucapkan terimakasih padaku karena telah memberimu  amalan do’a . Lalu engkau meningalkan kelas kecilku.
      Di rumah aku terus membayangkan wajahmu yang semakin hari semakin manis dan sangat sejuk, setiap malam yang sepi hanya engkau yang mampu mengobati rasa jenuh ku. Malam itu pun sama .
      Pagi hari  jauh berbeda karena hanya di pagi hari lah aku melihatmu secara langsung didepan mata bahkan sangat dekat sekali. Seminggu setelah  engkau memintaku amalan do’a itu kulihat wajahmu berubah sangat jauh. Wajah yang dahulu aku temukan suka bercanda berubah menjadi wajah yang sangat sinis dan serius. Jika aku menyapamu maka engkau hanya acuh tak acuh dan lebih parahnya engkau tak mau bercanda lagi dengan ku.
      Sepulang sekolah aku mengajakmu melihat bintang yang terang, bintang Scorpio yang aku sukai akan engkau lihat bersamaku di malam minggu, namun engkau masih menunjukkan sikap yang sinis.
      Aku sangat heran akan perubahan yang engkau curahkan kepadaku, ada apa  gerangan. Hingga akupun menyelidikinya , setelah aku selidiki ternyata engkau sinis karena sebuah amalan do’a yang pernah aku berikan kepadamu, amalan do’a itu bukannya memberikan nilai yang sempurna malahan memberimu nilai merah, kata guru mata bidang menyebutkan kalau nilaimu tak lebih dari angka lima. Apakah engkau hanya membaca amalan do’a tersebut tanpa disertai sebuah usaha keras dan belajar. Akupun berusaha meminta maaf atas sikapku yang mungkin membuatmu  keberatan namun engkau hanya diam. Aku bertekad akan melupakan mu selama-lamanya jika waktu itu engkau masih saja sinis kepadaku, karena engkau tahu sendiri  kalau dalam waktu dekat ini aku sedang sibuk dengan belajar untuk menghadapi ujian nasional yang akan di selenggarakan pemerintah .
      Jika engkau sinis tentunya aku tahu namun jika engkau tak mau berbicara kepada ku itu adalah hal yang sangat menyakitkan .
      Hari selanjutnya aku benar-benar sangat binggung akan sikapmu, padahal hari-hari itu adalah hari-hari terakhir ku di sekolahan , aku berniat  akan melanjutkan sekolah lanjut pertama di luar kota dan sangat jauh dari  engkau .  Berkali-kali aku menjelaskan kalau penyesalan akan datang terakhiran. Aku meminta mu untuk kembali ceria di hari terakhir ku di sekolah.
      Waktu itu aku masih ingat ketika engkau mengajakku ke perpustakaan sendirian, engkau memberiku cokelat dan sebuah kata maaf dan aku pun menerima nya . Serasa hal terakhir yang sangat mengembirakan yang pernah aku alami .
Padahal aku tahu kalau waktu itu baju sekolah ku dan engkau masih berwarna merah dan aku  sudah berani mengatakan kalau aku mencintai mu. Saat itu  Kau hendak naik ke kelas enam dan aku hendak lulus dari sekolahan itu.
      Keesokan harinya aku benar-benar telah berpisah dengan mu.  Engkau tahu kalau aku sangat jauh . Dan mungkin kita tak akan pernah bertemu lagi . Itu lah kata yang aku ucapkan di senja  hari seusai acara perpisahan sekolah.
      Dan benar apa kataku, aku benar-benar berpisah dengan mu, aku telah pindah ke sekolahan ditingkat pertama, sekolah lanjut pertama yang bagiku akan  aku lalui tanpa kehadiran seorang yang dulu pernah singgah di dalam hati ku.
       Benar apa yang aku katakan , aku benar-benar melupakan mu bahkan aku sudah berani untuk mencari pengantimu tetapi tak secantik dirimu, dia sangat pendek darimu namun hanya dia yang pada hari-hari itu akan mengisi hatiku.
       Selain dirimu aku tak punya pengobat hati jika aku merasa kesepian. Malam itu aku benar-benar sendirian tanpa engkau. Namun sekali lagi kalau aku sudah melupakanmu.
      Ibuku menyuruhku kembali kerumah hingga aku pun kembali kerumahku  yang dulu, disana adikku menyambutku dengan hangat. Dia berkali-kali mengatakan kalau engkau dirawat dirumah sakit di Pekalongan, dan rumah sakit itu sangatlah dekat dengan rumahku waktu itu. Namun berkali-kali juga aku menolaknya bahkan aku sudah berani berkata kalau masa lalu adalah masa lalu biarlah semuanya berlalu , toh aku masih punya masa depan.
      Hari selanjutnya adikku mengabariku kalau engkau terus saja memanggilku setiap hari di dalam kamar sebuah rumah sakit. Namun aku bukanlah aku yang dulu.  Aku adalah aku yang sangat sibuk dengan tugas seorang ketua OSIS di sekolahan baruku.
      Aku pernah mengingatmu , saat itu aku memberimu foto yang sangat jelek. Dan engkau pernah berjanji suatu saat nanti giliran engkau yang memberiku foto. Mungkin itulah sebabnya engkau terus saja memanggilku di rumah sakit, namun aku tetap saja acuh tak acuh bagaikan saat engkau menerima nilai merah karena sebuah amalan doa dari ku.
      Hari berikutnya adikku mengabariku kalau engkau pindah ke rumah sakit yang lebih jauh, yah engkau dirawat dirumah sakit di luar kota. Aku sangat malas untuk pergi kesana. Bahkan rasa malas ini tak kan menyulutkan niat ku untuk mengenangmu.
      Adikku terus membujukku agar aku menjengukmu , adikku berkata kalau engkau terkena penyakit kanker hati yang sudah sangat parah. Separahnya engkau menderita sebuah penyakit tetap saja engkau adalah masa lalu ku.
      Malam tadi aku tidur kelelahan karena seharian menata kamar lama ku . Tetapi tiba-tiba saja adikku membangunkan ku, aku pun bangun tapi seraya memukulnya dengan bantal kecil. Aku mengusirnya dari pandangan ku. Adikku tetap saja membangunkanku namun aku tetap saja menolak untuk bangun.
      Pagi harinya adikku benar-benar berkata serius , dia mengatakan kalau engkau sudah tiada untuk selama-lamanya, aku tak begitu mempercayainya. Bahkan aku mentertawakan ucapan adikku. Setelah lamanya aku tertawa tiba-tiba saja adikku menangis tersedu-sedu , ia sempat mengutukku karena kelalaian ku dan kesombonganku, mulailah aku percaya apa yang adikku katakan mengenai dirimu.
      Selanjutnya aku tak berani tertawa lagi , aku menangis, aku sudah tak gengsi lagi sebagai lelaki yang lemah, aku menyerah pada sebuah takdir, aku berlari kencang ke kamar dan menguncinya. Lalu aku menangis sepuas-puasnya . Sepertinya perlahan-lahan aku mulai mengingat mu , lembaran –lembaran waktu dulu mulai membentuk dalam otakku, aku mulai merindukan sosok yang setiap  harinya bercanda kepadaku namun apa daya aku bukanlah tuhan aku hanya manusia biasa yang setiap harinya hanya bisa menyesal .
      Aku benar-benar tak kuasa untuk menangis.  Berkali-kali aku menyobek seluruh kertas yang ada didalam kamar, aku pun teringat akan sebuah lagu yang di nyanyikan oleh peterpan.
“dimalam yang sesunyi ini aku sendiri tiada yang menemani ,…………..mengapa terjadi kepada diriku aku tak percaya kau telah tiada harus kah ku pergi tinggalkan dunia agar aku dapat berjumpa dengan mu……..”
       Sekali lagi ini adalah upaya ku untuk tetap terus menebus semua kesalahanku, ternyata masa lalu adalah masa depan , maaf kan aku yusida . Ucapku didepan pusara hangat mu.
Pemalang ,22 juni 2011
*Musa Hasyim ,Siswa Mass Aliyah Tebuireng Jombang –jln Irian Jaya Po Box 10 PonPes Tebuireng Jombang Jawa Timur
DIterbitkan di Majalah Kaki Langit Horison

Cerpen Tsunami



                                                        TSUNAMI
       Aku dan Sutijah tak berhenti-hentinya bertengkar,pertengkaran dimulai karena sebab yang sangat sepele namun Inilah watak seorang istriku yang tak mau kalah.Katanya setiap perkataan ia harus menang dariku.Aku pun selalu menuruti keinginannya,namun tidak untuk kali ini.
       Sutijah melemparku dengan bantal kemudia piring ia pecahkan dan di jadikannya sebuah irama,setelah itu ia melemparku dengan jam dinding,Aku adalah lelaki kuat yang takkan menyerah.Dia tak mau kalah aku pun tak mau kalah.
      Namun aku bukan lelaki biadab yang meladeni istri yang  sedang mengamuk dengan mengamuk pula,kalau istriku terus memukul ku dengan setiap benda di rumah maka aku hanya bisa tersenyum dan membalasnya dengan pujian kalau ia adalah wanita tercantik di seluruh negeri Aceh ini.
       Sutijah adalah wanita keras,kerap kali Dio anakku yang terakhir di pukulnya dengan sapu .Ia sering menjewer karena sifatnya yang memang sembrono namun  kenapa harus dengan kekerasan ,aku tak bisa menasehatinya,ia bukan seorang yang penurut pada sang suami .
      Beruntung anak pertamaku tidak di Aceh dan yang terpenting sangat jauh dengan Sutijah,Melinda sengaja ku masukkan ke pesantren di Jawa supaya terhindar dari perlakuan kasar ibunya.Jarak Jawa dan Aceh mungkin akan menyelamatkan Melinda dari sifat brutal sang istri.
        Malam itu sutijah meributkan masalah gaji PNS ku yang menurun,katanya ia tak bisa lagi berbelanja di supermarket gara-gara gaji ku yang menurun dan tak cukup untuk memenuhi nafsu  barang nya.Sutijah sendiri adalah orang yang gampang percaya akan trend-trend yang marak di lingkungan ,misalnya saja saat sedang musimnya celan pensil,ia langsung mengambil uang gajiku demi celana pensil.Padahal uang itu untuk biaya spp Dio yang nunggak dua bulan .
Sifat Sutijah ku jadiakan sebuah keunikan dan kekhasan  yang harus aku ladeni.
       Malam itu juga Sutijah memintaku memanjat pohon kelapa,ia meminta petikkan kelapa yang hijau-hijau,padahal aku sudah menyarankannya untuk beli saja ,namun begitulah sifat kerasnya dan egonya yang tinggi hingga mau tak mau aku harus memanjat pohon kelapa yang tinggi di malam hari yang dingin.
        Setelah ia dapatkan kelapa itu ia malah membuangnya katanya ia sedang menguji ketulusan cinta ku yang terdalam .aku pun tetap mencintainya walaupun sifatnya yang tak aku cintai namun wajahnya aku cintai begitu lah jawaban .
       Pagi harinya sutijah agak kebinggungan ,dari tadi ia terus saja memandang lautan ,padahal di lautan tak ada apa-apa selain nelayan yang sedang berlayar.Katanya ia meilhat darah di lautan tersebut.Aku pun yakin kalau ia sedang berhalusinasi.
        Ia masih saja melamun ,ku suguhkan secangkir kopi ia malah melamun ,ia terus berkata kalau aku harus bersenbunyi di dalam almari.Aku tak paham apa yang di katakan oleh Sutijah.Setelah ia sadar dari lamunannya ia  cepat-cepat pamit mau pergi namun yang ia katakan adalah bahwa ia akan segera pergi ke akhirat bersama Dio.Berkali-kali aku menanyakan keadaannya ,ia hanya berkata minta maaf kepadaku.  Tak seperti biasanya seorang Sutijah bisa berkata maaf dengan ku dan dengan wajah yang ikhlas,aku menganggap hal ini sebagai mujizat yang kebetulan datang menghampiriku.
       Setelah Sutijah jauh dari pandangan ku tiba-tiba ponsel ku berbunyi ,terlihat Melinda memanggil,setelah aku angkat ia berkata kalau aku harus berhati-hati akan peristiwa yang akan terjadi katanya tadi malam ia bermimpi banyak ikan yang mati di lautan.Ia pun berpesan kepada ku untuk menuruti perintah Sutijah agar aku bersembunyi di almari baju.Terakhir kalinya ia menitipkan salam kepada Dio dan Sutijah ,salamnya pun rada aneh yaitu salam perpisahan.
        Aku sendiri termangu sendiri di dalam kamar,kulihat almari baju yang sudah tidak ada isinya.Sengaja aku keluarkan baju-baju yang ada didalam demi menuruti perintah Sutijah yang kalau perintahnya tidak di penuhi maka ia akan mengamuk seperti biasanya.
       Setelahku keluarkan baju-bajuku aku pun masuk ke dalam almari tersebut dan menguncinya rapat-rapat,didalam almari aku terus berkata apakah aku sedang gila hingga menurui sang istri yang rada aneh.
        Keanehan itu bukanlah aneh melainkan kenyataan.Di dalam almari sendiri ku dengar suara gemuruh air yang dahsyat.Aku pun ketakutan .Didalam benakku aku berkata apakah ini sebuah peristiwa besar yang di maksudkan Melinda dan Sutijah.Benakku terus saja berkata-kata .
        Dan ternyata benar apa yang dikatakan oleh semuanya kalau hari ini tepatnya di tanggal dua puluh enam desember  terjadi tsunami yang sangat besar.
        Didalam almari aku terus berdoa,apakah aku akan selamat atau aku akan menyusul Sutijah yang katanya ia akan pergi ke akhirat bersama Dio .Iringan doa tak henti-hentinya kuucapkan dalam mulut keclilku.
        Almari yang aku tumpangi seperti berlayar sangat jauh.Rasanya aku tengah berada di tengah lautan buatan di depan rumah ku,bebrapa kali almari ini menabrak benda-benda kasar.Aku pun terkadang kualahan jika air masuk kedalam almari.
        Kemudian almari yang aku tumpangi pecah sedikit.Aku berusaha sekuat tenaga untuk menahannya dari gelombang besar.Dan ini membuat keringatku tak berhenti-hentinya mengucur bersama air mata .
        Berkali-kali aku mengutuk laut,sebutan laut yang kasar ,laut seperti babi dan laut seperti monster yang tak punya belas kasih .Kata-kata itu menghiasi setiap mulutku.
        Sekarang almari ku berhenti entah dimana.Yang kudengar diluar sana adalah tangisan seorang anak yang di tinggal sang ibu.Anak itu menangis dan meminta ibunya untuk memeluknya.Dan sang ibu pun memeluk sang anak dengan lembutnya setelah itu suara itu menghilang jauh diterpa ombak yang besar.
        Aku hanya bisa mendengar dan meminum air kencing sendiri selama kurang lebih  tiga hari lamanya.
        Setelah aku coba bangkit kulihat ada sebuah kapal yang besar membawaku ke atas.Dan seperti ada malaikat yang sedang menolong nyawaku.Malaikat itu ternyata adalah Tim Sar yang sedang mencari korban selamat.
Aku pun selamat ,ternyata bencana ini membawa ku ke tengah dasar lautan.
        Acap kali ku ucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT dengan segala nikmat dan hidayah Nya aku dapat menghirup udar keindahan dunia yang telah mengijinkan aku agar tetap hidup dan mengasuh Melinda .
       Di daratan Aceh kutemukan beberapa  mayat yang berlimpangan .Ratusan bahkan ribuan.Pohon-pohon yang tumbang dan rumah yang rata dengan tanah.
        Kulihat daerah rumah ku yang sudah tidak ada,aku pun menghapiri dapur rumahku yang sekarang adalah tanah.Kenangan indah bersama Sutijah.
        Para Tim Sar sangat sibuk mengurusi data-data mayat yang sudah mati .Aku pun menghamprinya dan menanyakan apakah Sutijah dan Dio masih hidup.Namun  dari data tersebut tak di temukan mayat yang bernama Sutijah dan Dio.
        Langkah ku kesana-kemari mencari seseorang yang bertubuh besar dan ada tahi lalat di bibirnya serta anak kecil yang bibirnya agak dower,dan di matanya di temukan tahi lalat yang agak sama dengan ibunya.
        Hilir mudik para sukarelawan tak ku hiraukan .Mereka hanya sebuah benda mati yang sama dengan mayat, aku sendiri tak tahu kalau mereka semua masih hidup karena memang aku sedang berduka dan stress.
        Saat itu Sutijah pergi kepasar dengan membawa Dio sesampainya di rumah Dio tak ada katanya Dio main kerumah nenek nya.Tapi setelah aku kerumah nenek ternyata Dio tidak berada disana.Aku sangat khawatir waktu itu namun ternyata Dio ada di kamar sedang tertidur bersama Sutijah.Kulihat kasih sayang seorang ibu yang kadang kala marah karena anaknya yangsangat nakal.Hal ini aku jadikan pelajaran bahwa Sutijah tak selamanya kasar.Ia masih memiliki jiwa seorang ibu yang sangat mengasihi anaknya.
        Kenangan itu buyar saat aku menemukan sosok yang tak asing lagi bagiku,mayat itu berada di pesisir laut.Mayat itu sedang memeluk seorang anak kecil yang di matanya terdapat tahi lalat.Segera kuhampiri kedua mayat tersebut .
        Wanita itu dengan lembut kasih memeluk anak kecil ,pakainanya sangat rapuh dan di lumpuri pasir putih .Wajah kepanikan seorang ibu kepada anaknya.Mayat itu terasa sangat dekat dengan ku.Mayat itu pun segera aku dekati begitu aku dekat dengan wajahnya ,tak salah lagi dia adalah Sutijah dan anak kecil yang sedang di peluknya adalah Dio.
       Kucium kening Sutijah penuh kasih juga Dio tak begitu lama muncul di belakang ku sosok  yang menghampiriku dengan kerudungnya yang putih,dia juga adalah bagian dari hidupku.Melinda datang untuk menghiburku ,ternyata ia punya firasat buruk hingga ia jauh-jauh datang dari Jawa demi bertemu ibu dan adik yang sudah tidak bernyawa lagi.
Melinda ku peluk sangat erat,ia tak henti-hentinya menangis.

Pemalang,24 juni 2011
Nama pena:Musa Hasyim
Aktif di kopi sareng(komunitas sastra tebuireng)bareng mbak lan fang.

 Diterbitkan di majalah Nahdhatul Lughoh

Cerpen Suara Keras



Suara Keras
Malam itu ketika hujan turun dengan beberapa petir menyertainya. Aku begitu ketakutan hingga memilih pindah ke kamar mama. Mama tahu kalau aku adalah anak kecil yang sangat tidak suka dengan kebisingan. Mendengar petasan saja aku harus menutup telinga dengan dua bantal apalagi suara petir yang sangat menggelegar.
“Farhan! Kau harus seperti ayahmu. Ia kuat mendengar suara sekeras apapun. Bahkan suara bompun ayahmu masih kuat mendengarnya.” ujar mama menjelaskan perihal ayah yang tidak ku tahu batang hidungnya sampai umurku beranjak sepuluh tahun. Dari peristiwa malam itu aku mulai belajar mendengarkan suara keras. Mama mulai sering membelikanku balon lalu meletuskan balon tersebut. Berkali-kali mama lakukan demi melatih pendengaranku.
Ketika liburan sekolah tiba, mama mengajakku ke tempat yang penuh dengan keramaian. Tak hanya di pasar atau tempat ramai perbelanjaan lainnya. Mama juga pernah mengajakku menonton pertandingan sepak bola di stadiun bola gelora bung karno, alasannya hanya untuk melatih pendengaranku. Tentunya di stadiun bola tersebut gemuruh suara suporter sangatlah keras ditambah lagi suara terompet.
Yang tadinya aku tidak terlalu kuat mendengar suara yang keras, kini aku mulai bisa dan terlatih untuk mendengar. Bahkan aku sudah mulai terbiasa mendengarkan volume televisi dengan volume paling tinggi sekalipun.
***
Setiap hari aku mempraktekkan di sekolah. Tukang penjual balon langgananku tahu kalau aku suka memborong habis balon miliknya yang kemudian aku letuskan di kelas. Walaupun mama harus menanggung akibatnya karena aku sendiri sering di hukum lantaran menggangu teman-teman sekelas dengan meletuskan balon-balon yang aku beli. Mama sering mendapatkan surat teguran bahkan beberapa panggilan dari kepala sekolah di sekolahku. Tapi anehnya mama tidak memarahiku dan tidak kapok melatihku untuk belajar mendengarkan suara yang keras. Terutama suara letusan balon. Setiap kali mama dipanggil kepala sekolah, mama malah memberiku sebuah permen dan senyuman. Menurut mama aku sudah cukup pandai mendengarkan suara yang keras. Hal tersebut terbukti ketika ada suara ledakan ban yang besar karena kecelakaan di depan sekolah. Di saat semua teman-temanku berlarian dan menutup telinga, hanya aku sendiri yang tidak takut dan tidak pula menutup telinga begitu juga dengan mamaku.
Sebenarnya aku masih bingung dengan pekerjaan ayah. Yang kata mama, ayah adalah tukang balon dan tahan dengan suara keras. Tapi berkali-kali aku tanyakan ke mama, apakah pekerjaan ayah mulia seperti guru, mama hanya diam dan tersenyum tanpa membalas apapun. Kata mama suatu saat nanti aku akan kuat mendengarkan suara keras layaknya ayah. Tapi kenapa juga aku harus meneruskan tingkah lakunya.
Memang suara yang paling mama sukai adalah letusan suara balon. Setiap malam saja mama selalu meletuskan satu balon dan kami mendengarkan bersama layaknya mendengarkan musik rock.
“Ma! kenapa mama suka dengan suara letusan balon?” tanyaku waktu itu.
“Ayahmu tukang balon dan suara letusan balon itu merdu, semerdu suara angin di dalamnya.”
Berkali-kali aku tanyakan apakah benar ayah tukang balon yang mulia dan tahan suara keras. Hingga rasa penasaran ini memuncak dan akupun meneliti seisi kamar mama. Di setiap dinding kamar itu terpampang beberapa foto balon. Dari yang warna biru,kuning, dan merah. Namun dari sekian foto tak kujumpai satupun foto laki-laki penjual balon. Apakah benar ayahku tukang balon.
Tak hanya suara balon yang mama ajarkan kepadaku tapi juga suara petasan. Mama juga pernah menjelaskan kalau selain tukang balon, ayah juga tukang petasan yang selalu mendengarkan suara keras dari petasan miliknya.
Petasan pun mulai menggantikan posisi suara balon. Sudah jarang aku mendegarkan suara letusan balon di kamar mama. Suara petasan tentunya lebih keras ketimbang suara balon. Hingga di sekolahpun aku beralih dari membeli dan memborong balon ke petasan. Kali ini aku tidak hanya mendapatkan surat teguran dan panggilan orang tua tapi aku benar-benar di keluarkan dari sekolah tersebut. Tapi anehnya adalah mama tidak memarahiku justru mendukung aksiku
“Sudahlah Farhan! Masih banyak sekolah yang mau menampungmu.” begitu kata mama saat aku dikeluarkan drai sekolah.
***
Lama-kelamaan aku tidak bisa mendengarkan suara apa-apa. Aku mulai risih dan khawatir. Akankah aku tuli, lantas bagaimana aku bisa mendengarkan suara petasan lagi. Akupun mengadu kepada mama. Mama hanya menjawab
“Kamu tuli seperti ayahmu, dari dulu kau seperti ayahmu.”
Aku agak heran dengan apa yang dimaksud mama. Aku tidak mengerti apa yang mama bicarakan saat itu.
Keesokan harinya mama mengajakku menaiki balon udara. Tetapi karena beban muatanya berlebihan maka aku memilih tidak ikut naik balon udara tersebut. Memang unik liburan kala itu. Yang mana berbagai suara keras ada di sana mulai suara petasan kembang api, suara letusan bola hingga balon udara yang besar.
Mama melambaikan tangannya padaku. Lalu entah kenapa ada suara ledakan maha dahsyat dari arah mama. Aku tidak terlalu mendengarkan. Apakah selama ini aku benar-benar tuli. Aku tidak mendegarkan suara apa-apa. Akupun teringat pesan mama ketika aku masih kecil
“Ayahmu itu seorang tukang balon juga tukang petasan. Tapi dia tuli.”
Aku masih bertanya-tanya kenapa mama dan ayah suka dengan suara keras hingga anaknya harus seperti mereka. Mama aku tidak bisa mendengarkan suaramu. Mama dengarlah suara hatiku. Semua hilang dengan ledakan balon udara yang mama naiki kala itu.
Pemalang, 10 Juli 2013
M Musa al Hasyim
Mahasiswa semester 1 Hubungan Internasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
 Diterbitkan di Tabloid LPM Institut UIN